Archive for the 'psikologi' Category

20
Mei
10

D Y S L E X I A

Definisi

Disleksia berasal dari bahasa Yunani yang artinya “kesulitan membaca”. Bryan dan Bryan seperti yang dikutip oleh Mercer (1979:200) mendefinisikan disleksia sebagai suatu sindroma kesulitan dalam mempelajari komponen-komponen kata dan kalimat, mengintegrasikan komponen-komponen kata dan kalimat, dan dalam belajar segala sesuatu yang berkenaan dengan waktu, arah, dan masa. Menurut Lerner seperti yang dikutip oleh Mercer (1979:200) defini kesulitan belajar membaca atau disleksia sangat bervariasi, tetapi semuanya menunjuk pada adanya gangguan pada fungsi otak.

Terdapat beberapa pengertian disleksia yang dikemukakan para ahli seperti berikut :

a. Disleksia merujuk pada anak yang tidak dapat membaca sekalipun penglihatan, pendengaran. Inteligensinya normal, dan ketrampilan usia bahasanya sesuai. Kesulitan belajar tersebut akibat faktor neurologis dan tidak dapat diatributkan pada faktor kedua, misalnya Iingkungan atau sebab sebab sosial (Corsini,1987).

b.   Disleksia sebagai kesulitan membaca berat pada anak yang berinteligensi normal dan bermotivasi cukup, berlatar belakang budaya yang memadai dan berkesempatan memperoleh pendidikan serta tidak bermasalah emosional (Guszak,1985).

c.   Disleksia adalah suatu bentuk kesulitan dalam mempelajari komponen­-komponen kata dan kalimat, yang secara historis menunjukan perkembangan bahasa lambat dan hampir selalu bermasalah dalam menulis dan mengeja serta berkesulitan dalam mempelajari sistem representasional misalnya berkenaan dengan waktu, arah, dan masa. ( Bryan & Bryan dikutip Mercer,1987).

d.   Disleksia adalah bentuk kesulitan belaiar membaca dan menulis terutama belajar mengeja secara betul dan mengungkapkan pikiran secara tertulis dan ia telah pernah memanfaatkan sekolah normal serta tidak memperlihatkan keterbelakangan dalam mata pelajaran-mata pelajaran lainnya ( Hornsby dalam Sodiq, 1996:4)

National Institute of Child Health mendefinisikan disleksia sebagai gangguan spesifik berbasis bahasa, yang bersifat bawaan dan ditandai dengan kesulitan mengartikan satu kata tunggal, yang biasanya mencerminkan kemampuan pemprosesan fonologis yang tidak memadai. Kesulitan mengartikan satu kata tunggal ini sering kali tak terduga jika dikaitkan dengan usia serta kemampuan kognitif dan akademis lainnya. Kesulitan ini bukanlah akibat dari kesulitan umum yang berkaitan dengan perkembangan atau kerusakan indera fisik. Disleksia ditunjukkan dengan kesulitan berbeda-beda dalam berbagai bentuk bahasa, yang sering kali mancakup juga suatu masalah dalam menguasai ketrampilan menulis dan mengeja.

Beberapa komponen penting dari definisi di atas adalah:

  1. 1. Salah satu dari beberapa kesulitan belajar yang khas

Disleksia bukanlah satu-satunya jenis kesulitan belajar. Disleksia ditemukan pada laki-laki maupun perempuan dengan prevalensi berkisar 5-10% hingga setinggi 17,5%. Pada spektrum kesulitan membaca, disleksia berada pada kisaran bawah dalam distribusi normal kemampuan membaca. Kesulitan belajar lainnya mencerminkan gangguan-gangguan dalam memusatkan perhatian atau memproses informasi visual dan spasial (juga disebut kesulitan belajar non verbal) atau masalah dalam memahami informasi sosial dan emosi.

  1. 2. Suatu gangguan spesifik berbasis bahasa

Meskipun pada awalnya disebut “buta kata”, disleksia bukan suatu gangguan pada sistem visual yang menangkap kata-kata atau setiap huruf dalam posisi terbalik. Disleksia adalah gangguan bahasa. Ketidakmampuan menyebutkan nama dan huruf atau bentuk kata disebabkan oleh kode-kode verbal yang kurang mapan dan bukan karena kelemahan penglihatan-daya tangkap.

  1. 3. Bersifat bawaan

Dengan kata lain bahwa anak yang mengalami disleksia, memang terlahir dengan kondisi disleksia. Kata bawaan mengacu pada fakta bahwa masalah membaca bukanlah akibat dari cedera kepala atau penyakit seperti infeksi telinga parah yang berulang, yang mungkin saja mempengaruhi kemampuan mendengar dan membedakan suara, dan sumber akut lainnya. Istialah bawaan juga mengacu pada fakta bahwa disleksia berhubungan dengan garis keturunan. Sebanyak 40% anak-anak yang menyandang disleksia juga punya saudara kandung dengan masalah yang sama, dan banyak studi melaporkan bahwa kira-kira 23% – 65% anak-anak dari orangtua yang menyandang disleksia juga menyandang disleksia. Istilah bawaan berarti bahwa disleksia tidak bisa disembuhkan. Seorang anak yang menyandang disleksia dapat diajari membaca, tetapi disleksia merupakan kesulitan pemrosesan yang kronis dan berlanjut seumur hidup. Sekalipun anak-anak ini sudah belajar membaca, mereka tetap membaca lebih lambat dari anak-anak lain.

  1. 4. Ditandai dengan kesulitan mengartikan satu kata tunggal

Mengartikan adalah istilah untuk menunjukkan kemampuan menerjemahkan simbol-simbol tertulis ke dalam kata-kata bisa dikenali. Proses membaca dapat dipecah menjadi dua unsur, yaitu mengartikan dan memahami. Dalam kasus disleksia, kemampuan kognitif pada taraf yang lebih tinggi seperti pemahaman, kosakata, dan kemampuan mengerti sintaksis (tata kalimat) tetap utuh. Seorang penyandang disleksia, karena dia mengalami kesulitan dalam mendengar dan menyusun urutan bunyi-bunyi yang membentuk kata-kata, akan sulit menerjemahkan simbol-simbol tertulis itu ke dalam bunyi, memadukan bunyi-bunyi itu, lalu mengidentifikasi gabungan bunyi-bunyi itu dengan sebuah kata yang sudah diketahui. Dia mungkin berusaha menebak kata itu dari huruf pertamanya. Hal yang paling mudah bagi anak-anak penyandang disleksia adalah mendengarkan huruf konsonan di awal-awal kata, ketimbang di akhir atau di tengah-tengah. Walaupun anak-anak penyandang disleksia biasanya memiliki ketrampilan untuk memahami melalui pendengaran (listening comprehension) yang memadai, kesulitan mereka dalam mengartikan kata-kata menjadi hambatan untuk mencerna bahan-bahan tertulis.

  1. 5. Kesulitan mengartikan kata tunggal sering kali tak terduga jika dikaitkan dengan usia serta kemampuan kognitif dan akademis lainnya.

Anak yang menderita disleksia memiliki kemampuan yang sama dengan anak normal lainnya, hanya saja ia memilki kesulitan dalam membaca. Dalam beberapa kasus, anak-anak disleksia memiliki kemampuan dan kepintaran yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak normal lainnya, khususnya dalam hal yang tidak berkaitan dengan hal membaca. Ini salah satu ciri dari anak disleksia, yaitu apabila diberi soal dengan cara lisan (soal dibacakan, dan anak menjawab pertanyaan secara verbal), ia mampu menjawabnya dengan cepat dan benar, namun apabila anak tersebut diberi soal tertulis, ia mengalami kesulitan.

  1. 6. Mencerminkan kemampuan pemrosesan fonologis yang tidak memadai

Fonem adalah bagian terkecil yang dapat diidentifikasi dari ujaran. Pemrosesan fonologis adalah kemampuan untuk mengetahui bahwa ujaran dapat dipecah ke dalam fonem-fonem (bunyi-bunyi) dan bahwa fonem-fonem ini diwakili oleh bentuk-bentuk tertulis. Ketika kita berbicara (berbeda dengan kata-kata yang tertulis), kita tidak berbicara dengan fonem-fonem terpisah. Sebaliknya, bunyi-bunyi itu saling menyambung sehingga kita dapat berbicara dengan kecepatan yang wajar. Inilah yang membuat berbicara itu mudah, namun ini juga yang membuat sebagian anak-anak sulit memecah sebuah kata menjadi bunyi-bunyi penyusunnya dan mencocokkannya dengan tulisan. Disleksia mencerminkan adanya perubahan-perubahan spesifik pada fungsi otak yang menimbulkan masalah-masalah pemrosesan fonologis. Kondisi ini mengarah pada kegagalan terukur dalam mengerjakan tugas-tugas sekolah. Elektrofisiologi dalam berbagai studi pencitraan otak fungsional, dan sejumlah spesimen otak pascakematian semuanya menunjukkan daerah otak temporal-parietal-oksipetal-kiri penyandang disleksia berbeda dengan pembaca normal. Pada anak-anak penyandang disleksia yang baru mulai membaca, terdapat penyimpangan mekanisme otak untuk membaca yang diperlihatkan melaui girus angular yang berbeda dengan anak normal. Penyandang disleksia tidak memiliki satu pun koneksi fungsional dalam girus angular kiri sebagaimana yang ditemukan pada para pembaca normal.

  1. 7. Mengalami kesulitan dalam menguasai kefasihan menulis dan mengeja

Membaca merupakan ketrampilan bahasa reseptif, seperti halnya mendengarkan yang terdapat proses penampungan informasi. Menulis dan mengeja adalah ketampilan bahasa ekspresif, seperti halnya berbicara, tetapi dalam bentuk tertulis. Proses serupa yang mempengaruhi kemampuan mengartikan, juga akan mempengaruhi kemampuan mengeluarkan urutan bunyi yang benar dalam hal tulis-menulis. Jenis-jenis kesalahan serupa sering kali dijumpai pada saat penyandang disleksia membaca dan dalam ejaan tulisan mereka.

Singkatnya, penderita disleksia mengalami kesulitan membedakan bunyi fonetik yang menyusun sebuah kata. Mereka bisa menangkap kata-kata tersebut dengan indera pendengarannya. Namun ketika harus menuliskannya pada selembar kertas, mereka mengalami kesulitan harus menuliskannya dengan huruf-huruf yang mana saja. Dengan demikian, dia juga mengalami kesulitan menuliskan apa yang ia inginkan ke dalam kalimat-kalimat panjang secara akurat.

2.2 Karakteristik

Pada umumnya ketika seseorang sedang membaca, sebenarnya ia sedang melakukan banyak langkah berikut:

  1. Membaca cepat (screening) huruf demi huruf yang menyusun kalimat pada tulisan tersebut dengan urutan yang benar, yaitu dari kiri ke kanan.
  2. Memindahkan huruf-huruf tersebut ke dalam kotak dalam waktu yang singkat.
  3. Mengenali pengelompokan huruf-huruf yang berbeda yang membentuk suatu kata tertentu (hal ini melibatkan identifikasi terhadap masing-masing huruf), dengan berbagai macam bentuk font atau model tulisan tangan yang ada.
  4. Membandingkan pengelompokan (dengan cara momor 3) dengan kata-kata yang sudah dikenali yang tersimpan dalam memori otak untuk mengenali bunyi dan arti kata-kata tersebut secara keseluruhan.
  5. Mengingat arti kata-kata tersebut dan menghubungkannya dengan kata-kata pada kalimat berikutnya untuk memahami seluruh isi tulisan.
  6. Menyelesaikan seluruh proses tersebut dalam hitungan detik, seiring dengan perpindahan pandangan mata yang beranjak dari kalimat satu ke kalimat-kalimat berikutnya.

Proses tersebut adalah proses yang dilakukan oleh orang normal dalam membaca. Namun, jika ada salah satu saja proses atau langkah di atas yang terlewati, seseorang akan mengalami kesulitan dalam membaca. Bagi para penderita diseleksia, masalah utama dalam membaca terletak pada menghubungkan antara kumpulan huruf dalam sebuah tulisan dengan kata-kata yang mereka ketahui melalui pengucapannya.

Ada sepuluh tanda-tanda umum yang dapat digunakan untuk melakukan identifikasi dini adanya kesulitan pemprosesan yang akan mempengaruhi kemampuan membaca, yaitu:

  1. Tidak dapat menyebutkan nama-nama huruf atau menyanyikan lagu abjad, terutama jika si anak memiliki kosakata yang baik.
  2. Mengalami kesulitan dalam mengidentifikasi kata-kata yang dimulai dengan bunyi yang sama dari daftar tertulis, atau tidak dapat membedakan apakah dua kata yang terdiri dari satu suku kata punya bunyi yang sama atau berbeda (misalnya “get” dan “bet” atau “sit” dan “sat”). Anak-anak yang mulai duduk di taman kanak-kanak, seharusnya dapat mengenali bunyi awal dan akhir.
  3. Kesulitan dalam menyebutkan kata yang berima atau mengenali rima
  4. Masalah dalam pengenalan fonologis, yaitu kemampuan mengidentifikasi dan mengurutkan bunyi-bunyi dalam sebuah kata (seperti, jika aku memilih kata “bat” dan aku hilangkan huruf b­-nya, jadi kata apa ya?)
  5. Tidak mengenal nama-nama warna atau bentuk
  6. Memiliki masalah wicara dan artikulasi, khususnya yang melibatkan penggunaan oromotor (kemampuan menggerak otot mulut dan mengatur sekresi seperti air ludah).
  7. Sulit mengingat urut-urutan otomatis seperti angka atau hari-hari dalam seminggu
  8. Masalah yang berkaitan dengan kegiatan motorik halus seperti menggambar lingkaran atau menyalin huruf, atau rangkaian motorik kasar seperti meloncat atau mengendarai sepeda roda tiga.
  9. Sulit mengingat kembali kata-kata khusus (misalnya, menyebutkan nama gambar benda yang sudah dikenal, kecenderungan untuk mengganti kata yang dimaksud dengan kata bermakna serupa tetapi lebih jarang digunakan, atau mengganti dengan kata-kata yang memiliki hubungan semantis, seperti “jeruk” diganti “apel”, “mobil” diganti dengan “truk”).
  10. Kesalahan pengurutan dalam wicara (“kepala” dibaca dengan “kelapa”)
  11. Masalah dalam ingatan verbal, yaitu sulit mengingat kalimat atau cerita yang baru saja disampaikan.

Jika lebih dari satu atau dua tanda itu dijumpai pada seorang anak, sebaiknya dilakukan evaluasi yang lebih lengkap oleh seorang psikolog yang kompeten dengan spesialisasi dalam bidang membaca atau seorang neuropsikolog klinis yang dapat memastikan kesulitan pemrosesan dalam hal membaca dan juga cara-cara yang paling mungkin digunakan si anak untuk mempelajari koneksi huruf-bunyi.

Pada anak disleksia kesalahan-kesalahan membaca oral tersebut sering disertai oleh kelainan bicara, yaitu :

(1) gangguan artikulasi

(2) gagap, dan

(3) pembalikan konsep waktu dan ruang misalnya kacau terhadap konsep belakang dan muka,atas bawah, kemarin dan besok

Selain itu pada anak disleksia sering juga ditandai adanya bentuk kesalahan mengeja dan kesalahan tulis, misalnya jika didiktekan kata pagar maka ditulis papar.

Menurut Ekwall & Shanker 1988 (dalam M.Sodia, A, 1996:6) ada beberapa simtom berkaitan dengan kasus kesulitan belajar membaca berat (disleksia):

  1. Pembalikan huruf dan kata, misalnya membalikan huruf b dengan d; p dengan a, u dengan n; kata kuda dengan daku, palu dengan lupa; tali dengan ilat; satu dengan utas.
  2. Pengingatan pada kata mengalami kesulitan atau tidak menentu (eratik)
  3. Membaca ulang oral (secara lisan) tak bertambah baik setelah menyusul.
  4. Membaca tanpa suara (dalam hati) atau membaca oral (secara lisan) yang pertama.
  5. Ketidaksanggupan menyimpan informasi dalam memori sampai waktu diperlukan.
  6. Kesulitan dalam konsentrasi.
  7. Koordinasi motorik tangan-mata lemah.
  8. Kesulitan pada pengurutan.
  9. Ketaksanggupan bekerja secara tepat.
  10. Penghilangan tentang kata-kata dan frasa.
  11. Kekacauan berkaitan dengan membaca secara lisan (oral) misalnya tak mampu membedakan antara d dan p.
  12. Diskriminasi auditori lemah.
  13. Miskin dalam sintaksis (ilmu tata bahasa), gagap, dan bicara terputus-putus.
  14. Prestasi belajar dalam berhitung tinggi dari pada dalam membaca dan mengeja.
  15. Hyperaktivitas.

Sementara itu Guszak ( dalam M.Sodik A, 1996: 6) mengemukakan ciri-­ciri anak disleksia sebagai berikut:

  1. Membalikan huruf atau kata.
  2. Kesulitan/tak mampu mengingat kata.
  3. Kesulitan/tak mampu menyimpan informasi dalam memori
  4. Sulit berkonsentrasi.
  5. Sulit dalam melihat keterhubungan (relationship).
  6. Impulsif
  7. Sulit melakukan koordinasi tangan-mata.
  8. Sulit dalam segi mengurutkan.
  9. Membaca lambat.
  10. Penanggalan kata, frasa dan sebagainya.
  11. Kekacauan membaca secara oral.
  12. Hyperaktif, dan
  13. Kinerja matematika secara signifikan lebih tinggi dari pada kinerja membaca.

Ada cara praktis yang dapat digunakan oleh orang tua untuk mengidentifikasin apakah anaknya mengalami disleksia atau tidak, yaitu dengan cara memberikan buku yang belum pernah anak tahu sebelumnya untuk dibaca oleh anak. Anak mungkin akan membuat cerita berdasarkan gambar-gambar yang ada di buku tersebut, tetapi antara gambar dan cerita tidak berkaitan. Disleksia akan diketahui setelah anak diminta untuk memfokuskan perhatiannya pada kata-kata dan membacanya dengan suara keras, dan anak diminta untuk menceritakan ulang teks-teks yang telah dibaca. Apabila anak tersebut tidak bisa melakukannya dan malah bercerita berdasarkan interpretasinya atas gambar-gambar yang ada di buku tersebut, kemungkinan besar anak tersebut menyandang disleksia.

Secara spesifik ciri-ciri anak disleksia dalam membaca adalah sebagai berikut:

  1. Membaca dengan amat lamban dan terkesan tidak yakin dengan apa yang ia ucapkan
  2. Menggunakan jarinya untuk mengikuti pandangan matanya yang beranjak dari satu teks ke teks berikutnya.
  3. Melewatkan beberapa suku kata, kata, fase, bahkan baris-baris dalam teks yang dibaca.
  4. Menambahkan kata-kata atau frasa-frasa yang tidak ada dalam teks yang dibaca.
  5. Membolak-balik susunan huruf atau suku kata dengan memasukkan huruf-huruf lain.
  6. Salah melafalkan kata-kata yang sedang ia baca walaupun kata-kata tersebut sudah akrab.
  7. Mengganti satu katu dengan kata lainnya sekalipun kata yang diganti tidak memiliki arti penting dalam teks yang  dibaca.
  8. Membuat kata-kata sendiri yang tidak memiliki arti
  9. Mengabaikan tanda-tanda baca

Secara spesifik ciri-ciri anak disleksia ketika belajar menulis adalah sebagai berikut:

  1. Menuliskan huruf-huruf dengan urutan yang salah dalam sebuah kata
  2. Tidak menuliskan sejumlah huruf dalam kata-kata yang ingin ia tulis
  3. Menambahkan huruf-huruf pada kata-kata yang ingin ia tulis
  4. Mengganti satu huruf dengan huruf lainnya, sekalipun bunyi huruf-huruf tersebut tidak sama
  5. Menuliskan sederet huruf yang tidak memiliki hubungan sama sekali dengan bunyi kata-kata yang ingin dia tuliskan
  6. Mengabaikan tanda-tanda baca yang terdapat dalam teks-teks yang sedang dia baca.

Faktor Penyebab

Penyebab utama disleksia adalah faktor internal, yaitu kemungkinan adanya disfungsi neurologis. Disfungsi neurologis sering tidak hanya menyebabkan kesulitan belajar tetapi juga menyebabkan tunagrahita dan gangguan emosional. Berbagai faktor yang dapat menyebabkan disfungsi neurologis yang pada gilirannya dapat menyebabkan kesulitan belajar antara lain:

  1. Faktor genetik
  2. Luka pada otak karena trauma fisik atau karena kekurangan oksigen
  3. Biokimia yang hilang (misalnya biokimia yang diperlukan untuk memfungsikan syaraf pusat)
  4. Biokimia yang merusak otak (misalnya zat pewarna pada makanan), pencemaran lingkungan (misalnya pencemaran timah hitam), gizi yang tidak memadai.
  5. Pengaruh-pengaruh psikologis dan sosial yang merugikan perkembangan anak (deprivasi lingkungan).

Dari berbagai penyebab tersebut dapat menimbulkan gangguan dari taraf yang ringan hingga taraf berat.

Berbagai Kesalahan Membaca

Anak-anak yang mengalami disleksia mengalami berbagai kesalahan dalam membaca sebagai berikut:

  1. 1. Penghilangan huruf atau kata

Penghilangan huruf atau kata biasanya terjadi pada pertengahan atau akhir kata atau kalimat. Penyebab dari penghilangan huruf tersebut adalah karena anak menganggap huruf atau kata yang dihilangkan tersebut tidak diperlukan. Contoh penghilangan huruf atau kata adalah “baju anak itu merah” dibaca “baju itu merah”.

  1. 2. Penyelipan kata

Penyelipan kata terjadi karena anak kurang mengenal huruf, membaca terlalu cepat, atau karena bicaranya melampaui kecepatan membacanya. Contohnya adalah kalimat “baju mama di lemari” dibaca “baju mama ada di lemari”.

  1. 3. Penggantian kata

Penggantian kata merupakan kesalahan yang banyak terjadi. Hal ini disebabkan karena anak tidak memahami kata tersebut sehingga hanya menerka-nerka saja. Contohnya adalah kalimat “tas Ayah di dalam mobil” dibaca “tas Bapak di dalam mobil”.

  1. 4. Pengucapan kata salah

Pengucapan kata yang salah terdiri dari tiga macam,yaitu: (1) pengucapan kata yang salah dan makna berbeda, (2) pengucapan kata salah tetapi makna sama, (3) pengucapan kata salah dan tidak bermakna. Keadaan semacam ini dapat terjadi karena anak tidak mengenal huruf sehingga menduga-duga saja, mungkin karena membaca terlalu cepat, karena perasaan tertekan atau takut pada guru, atau karena perbedaan dialek anak dengan bahasa Indonesia yang baku. Contoh pengucapan kata yang salah dan makna berbeda adalah kalimat “baju Bibi baru” dibaca “baju Bibi biru”; contoh pengucapan kata salah tetapi makna sama adalah kalimat “Kakak pergi ke sekolah” dibaca “Kakak pigi ke sekolah” dan contoh pengucapan kata salah dan tidak bermakna adalah kalimat “Bapak beli duren” dibaca “Bapak bei buren”.

  1. 5. Pengucapan kata dengan bantuan guru

Terjadi jika guru ingin membantu anak melafalkan kata-kata. Hal ini terjadi karena sudah beberapa menit ditunggu oleh guru anak belum juga melafalkan kata-kata yang diharapkan. Anak yang memerlukan bantuan ini biasanya karena mengalami kekurangan dalam mengenal huruf atau karena takut resiko jika terjadi kesalahan. Anak semacam ini biasanya juga memiliki kepercayaan diri kurang, terutama pada saat menghadapi tugas membaca.

  1. 6. Pengulangan

Pengulangan dapat terjadi pada kata, suku kata, atau kalimat. Contoh pengulangan adalah “Bab-ba-ba Bapak menulis su-su-surat”. Pengulangan terjadi mungkin karena kurang mengenal huruf sehingga harus memperlambat membaca sambil mengingat-ingat nama huruf yang kurang dikenal tersebut. Kadang-kadang anak sengaja mengulang kalimat untuk lebih memahami arti kalimat tersebut.

  1. 7. Pembalikan huruf

Pembalikan huruf terjadi karena anak bingung posisi kiri-kanan, atau atas-bawah. Pembalikan terjadi terutama pada huruf-huruf yang hampir sama seperti d dengan b, p dengan q atau g, m dengan n atau w.

  1. 8. Pembetulan sendiri

Pembetulan sendiri dilakukan oleh anak jika ia menyadari adanya kesalahan. Karena kesadaran akan adanya kesalahan, anak lalu mencoba membetulkan sendiri bacaannya.

  1. 9. Ragu-ragu dan tersendat-sendat

Anak yang ragu-ragu terhadap kemampuannya sering membaca dengan tersendat-sendat. Murid yang ragu-ragu dalam membaca sering dianggap bukan sebagai kesalahan. Meskipun demikian guru umumnya berupaya untuk memperbaiki karena dianggap sebagai kebiasaan yang tidak baik. Keraguan dalam membaca juga sering disebabkan anak kurang mengenal huruf atau karena kekurangan pemahaman.

Metode Pengajaran Membaca bagi Anak Berkesulitan Belajar

Ada beberapa metode pengajaran membaca bagi anak berkesulitan belajar, yaitu:

  1. 1. Metode Fernald

Merupakan metode pengajaran membaca multisensoris yang sering dikenal dengan metode VAKT (visual, auditory, kinesthetic, and tactile). Metode ini menggunakan materi bacaan yang dipilih dari kata-kata yang diucapkan oleh anak, dan tiap kata diajarkan secara utuh. Metode ini memiliki 4 tahapan, yaitu:

  1. Tahap pertama, guru menulis kata yang hendak dipelajari di atas kertas dengan krayon. Selanjutnya anak menelusuri tulisan tersebut dengan jarinya (tactile and kinesthetic). Pada saat anak menelusuri tulisan tersebut, anak melihat tulisan (visual), dan mengucapkannya dengan keras (auditory). Proses semacam ini diulang-ulang sehingga anak dapat menulis kata tersebut dengen benar tanpa melihat contoh. Jika anak telah dapat membaca dan menulis dengan benar, bahan bacaan tersebut disimpan.
  2. Tahap kedua, anak tidak terlalu lama diminta menelusuri tulisan-tulisan dengan jari, tetapi mempelajari tulisan guru dengan melihat guru menulis, sambil mengucapkannya.
  3. Tahap ketiga, anak-anak mempelajari kata-kata baru dengan melihat tulisan yang ditulis di papan tulis atau tulisan cetak, dan mengucapkan kata tersebut sambil  menulis. Pada tahap ini anak mulai membaca tulisan dari buku.
  4. Tahap keempat, anak mampu mengingat kata-kata yang dicetak atau bagian-bagian dari kata yang telah dipelajari.
  5. 2. Metode Gillingham

Merupakan pendekatan terstruktur taraf tinggi yang memerlukan lima jam pelajaran selama dua tahun. Aktivitas pertama diarahkan pada belajar berbagai bunyi huruf dan perpaduan huruf-huruf tersebut. Anak menggunakan teknik menjiplak untuk mempelajari berbagai huruf. Bunyi-bunyi tunggal huruf selanjutnya dikombinasikan ke dalam kelompok-kelompok yang lebih besar dan kemudian program fonik diselesaikan.

  1. 3. Metode Analisis Glass

Merupakan suatu metode pengajaran melalui pemecahan sandi kelompok huruf dalam kata. Metode ini bertolak dari asumsi yang mendasari membaca sebagai pemecahan sandi atau kode tulisan. Ada dua asumsi yang mendasari metode ini, yaitu:

  1. Pertama, proses pemecahan sandi (decoding) dan membaca (reading) merupakan kata yang berbeda.
  2. Kedua, pemecahan sandi mendahului membaca.

Pemecahan sandi didefinisikan sebagai menentukan bunyi yang berhubungan dengan suatu kata tertulis secara tepat. Membaca didefinisikan sebagai menurunkan makna dari kata-kata yang berbentuk tulisan. Jika anak tidak dapat melakukan pemecahan sandi tulisan secara efisien, maka mereka tidak akan belajar membaca. Glass mengemukakan adanya empat langkah dalam mengajarkan kata, yaitu:

  1. Mengidentifikasi keseluruhan kata, huruf, dan bunyi kelompok-kelompok huruf.
  2. Mengucapkan bunyi-bunyi kelompok huruf-huruf.
  3. Menyajikan kepada anak, huruf atau kelompok huruf dan meminta untuk mengucapkannya.
  4. Guru mengambil beberapa huruf atau pada kata tertulis dan anak diminta mengucapkan kelompok huruf yang masih tersisa.

Contoh pengajaran dengan metode ini dengan menggunakan kata bapak adalah sebagai berikut:

Kepada anak diperlihatkan kata bapak yang tertulis pada kartu. Guru bertanya, “Dalam kata bapak ini, bunyi apa yang dibuat oleh huruf b? Bunyi apa yang dibuat oleh huruf apak? Jika huruf k digunakan untuk menggantikan huruf b, bagaimana bunyi kata itu?

Dengan metode ini anak akan merespons secara visual maupun auditoris terhadap kelompok-kelompok huruf. Menurut Glass hal semacam ini memungkinkan anak mampu memecahkan sandi, dan mengumpulkan kembali huruf-huruf ke dalam bentuk kata yang utuh.

Beberapa waktu yang lalu, saya bersama teman saya mencoba untuk membuat rancangan intervensi untuk anak disleksia. tapi perlu digarisbawahi bahwa rancangan intervensi ini tidak dapat digunakan untuk semua penyandang disleksia. Jujur, kami juga belum sempat mengujicobakan permainan yang kami buat ini, tetapi permainan kami ini mengadaptasi dari beberapa metode yang sudah dijelaskan diatas.

Permainan ini kami beri nama “MY SCRABBLE”.  Memang permainan ini mengadaptasi dari permainan scrabble pada umumnya, tetapi dengan beberapa modifikasi.

  1. Tujuan spesifik       : permainan ini didesain untuk membantu anak untuk memaksimalkan kemampuannya dalam mengidentifikasi huruf dan untuk memahami kata-kata yang tersusun melalui rangkaian huruf-huruf dengan media bermain.
  2. Cara bermain          :

My Scrabble:

Alat: Huruf timbul, papan scrabble, kartu yang berisi kata-kata, dan kartu bintang.

Tahap 1:

Anak diberikan satu kata sederhana dari kartu yang telah disediakan, kemudian pendamping menyebutkan kata tersebut. Pendamping kemudian mengambilkan huruf-huruf yang merangkai kata tersebut dan diserahkan kepada anak. Anak diminta untuk mengamati huruf, meraba bentuknya dan melafalkan masing-masing huruf dengan lantang. Kemudian anak diminta untuk menyusun huruf tersebut sesuai dengan kata yang telah disebutkan oleh pendamping pada papan scrabble yang telah disediakan. Jika benar, pendamping akan mengambil kartu berikutnya dan menyebutkan kata tersebut dan anak diminta untuk memainkan sesuai dengan prosedur yang telah tertulis di atas. Jika gagal pada percobaan pertama, pendamping diminta untuk mengulang prosedur sesuai dengan percobaan pertama. Jika anak tetap gagal pada percobaan ke dua, anak tetap diperbolehkan untuk melanjutkan permainan agar anak tidak bosan. Jangan lupa berikan kartu bintang dan pujian jika anak berhasil memainkan mainan dari tiap kartu yang diambil.

Tujuan   : tahap ini diberikan jika anak belum begitu lancar dalam memahami kata namun sudah cukup baik dalam mengenal huruf. Sehingga anak dapat belajar mengenai rangkaian kata sekaligus memperdalam ingatan tentang bentuk-bentuk huruf yang kurang dikuasainya.

Tahap 2:

Anak diminta untuk menyebutkan satu kata bebas untuk memulai permainan. Anak diminta untuk mengambil huruf, kemudian mengeja secara cepat huruf-huruf tersebut sambil diletakkan pada papan scrabble dengan susunan tertentu. Jika anak gagal dalam mengambil huruf atau pada saat mengeja huruf sesuai dengan kata yang telah disebutkan oleh anak, pendamping harus membantu anak untuk membetulkan kesalahannya. Jika anak berhasil dalam permainan pertamanya, anak diperbolehkan untuk melanjutkan permainan dengan cara menyebutkan kembali kata bebas dimana salah satu huruf pada kata bebas tersebut harus ada pada kata yang telah tersusun pada papan scrabble. Jika anak terlihat kesulitan untuk menyebutkan kata bebas tersebut, anak diperbolehkan untuk memilih kata dari kartu kata yang telah disediakan yang memungkinkan untuk dipasangkan pada kata yang telah tersusun pada papan scrabble. Jika anak terlihat kesulitan untuk menyebutkan ataupun mencari kata yang memungkinkan untuk dipasangkan pada papan, pendamping harus membantu dengan cara menstimulasi anak atau memilihkan beberapa kata agar dapat dipilih oleh anak dengan syarat kata tersebut harus dapat dipasangkan pada papan scrabble dengan susunan huruf yang tepat. Jika anak memilih kartu yang berisi kata-kata, anak tetap harus mengeja huruf dan membacanya dengan suara lantang. Jangan lupa untuk memberikan kartu bintang dan pujian jika anak berhasil menyelesaikan permainannya.

Tujuan   : tahap kedua bertujuan untuk memaksimalkan kemampuan anak dalam merangkai kata-kata. Tahap ini diberikan jika anak dinilai sudah dapat mengenal huruf dari A-Z dengan baik namun kemampuan membaca dan merangkai katanya belum berkembang dengan optimal.

Tidak asing dengan wajah-wajah ini????

Masih banyak orang-orang besar yang menyandang disleksia….

žTom Cruise, aktor
žKeanu Reevers, akor
žPablo Picasso, perupa
žMuhammad Ali, petinju
žHenry Ford, pengusaha otomotif
žWalt Disney, pencipta kartun
žAlexander Graham Bell, penemu telepon
žAlbert Einstein, peraih nobel fisika
žThomas Alfa Edison, penemu bola lampu
žWinston Chrunchill, Perdana menteri Inggris
žJohn F. Kennedy, Presiden Amerika Serikat
žDan masih banyak lagi…..
…bantu anak-anak penyandang disleksia agar menjadi besar seperti mereka…..
terimakasiiihhh…semoga bermanfaat ^^,

08
Apr
10

…curahan hati seorang autis…

Postingan kali ini memang bukan pure tulisan aku…ini aku comot dari note fb salah satu teman kuliah aku.

Setelah aku baca,,rasanya menyentuh banget, bikin terharu dan sebagainya lah…

Makasih ya Rey udah ijinin aku nyomot,,hehheheheh

Semoga banyak memberi inspirasi, bagaimana memahami “dunia mereka” yang sesungguhnya

Autisme ataupun PDD (Pervasive Developmental Disorder) adalah suatu kelainan perkembangan otak yang membuatku sulit untuk mengerti lingkungan disekitarku. Aku punya keterbatasan dalam otakku yang tidak kau lihat tapi dapat membuatku sulit untuk dapat beradaptasi dengan keadaan disekitarku.

Kadangkala aku terlihat kasar dan tidak sopan. Semua ini karena aku berusaha keras untuk dapat mengerti orang sekitarku dan pada saat yang sama aku berusaha untuk membuat diriku dapat dimengerti orang.

Penyandang autisme punya kemampuan yang berbeda beda; ada yang tidak mau berbicara; ada yang dapat membuat puisi indah, atau sangat mahir dalam matematika (Albert Einstein juga penyandang autisme), atau sulit berteman. Kami penyandang autisme semuanya berbeda dan memerlukan bantuan orang lain.

Kadangkala saat aku disentuh secara tiba-tiba, aku merasa sangat sakit dan membuatku ingin menjauh. Aku juga mudah frustasi. Ketika berada bersama orang banyak aku merasa seperti sedang berada disebelah kereta api yang bergerak dan mencoba untuk memutuskan bagaimana dan kapan harus melompat ke-dalam kereta.

Aku selalu merasa amat ketakutan dan bingung, sama seperti ketika kamu berada di- satu planet berisi mahluk angkasa luar dan kau tidak mengerti bagaimana mereka berkomunikasi.

Karenanya aku selalu memerlukan keadaan yang konsisten dan tidak berubah ubah. Jika aku berhasil mempelajari bagaimana satu keadaan atau hal dapat terjadi maka aku dapat merasa tenang. Tapi jika keadaan berubah maka aku harus berusaha ekstra keras untuk mulai dari mula mempelajari keadaan itu berulang ulang!

Jika kau berbicara padaku, aku seringkali tidak dapat mengerti apa yang kau katakan karena terlalu banyak gangguan di sekitarku. Aku harus berkonsentrasi keras untuk mengerti satu hal. Engkau mungkin merasa aku cuek – tapi sebenarnya tidaklah demikian. Aku mendengar semuanya tanpa dapat ku-mengerti hal mana yang memerlukan jawaban.

Hari raya adalah hal yang paling berat bagiku karena ada begitu banyak orang, tempat dan benda benda yang sangat berbeda dengan keadaanku. Ini mungkin suatu yang sangat menyenangkan bagi kebanyakan orang – tapi bagiku adalah pekerjaan terberat dan membuatku sangat tertekan. Seringkali aku harus menjauhkan diri dari keramaian itu untuk memenangkan diriku. Aku akan sangat senang jika diberikan tempat khusus dimana aku dapat menyendiri.

Jika aku tidak dapat duduk diam dimeja makan janganlah menganggap aku nakal atau menganggap orangtua-ku tak dapat mengatur-ku.

Untuk dapat diam selama lima menit saja merupakan suatu yang yang mustahil bagiku. Aku merasaterganggu oleh adanya bau, suara dan orang orang disekitarku sehingga membuatku harus terus bergerak.

Mohon jangan menunggu aku untuk dapat makan bersama – teruskanlah makan dan orangtuaku akan membantuku.

Makan adalah suatu hal yang berat bagiku. Jika engkau mengerti bahwa autisme adalah gangguan proses motorik dan sensorik maka akan mudah dimengerti mengapa makan itu sangat sulit bagiku.

Bayangkan ketika aktifitas makan berlangsung, sensorik yang harus aktif adalah penglihatan, perasa, penciuman dan sentuhan dan semua mekanik yang rumit pada saat mengunyah dan menelan – kesulitan ini dialami oleh semua penyandang autisme.

Aku bukanlah suka memilih makanan tapi aku tidak dapat makan makanan tertentu yang dapat mempengaruhi sistim sensorik ku yang terganggu. Janganlah kecewa jika ibu-ku tidak memberiku pakaian yang indah – ini karena ibu tahu jika aku memakai baju baru maka aku dapat menjadi sangat kisruh. Pakaianku harus terasa nyaman dipakai, jika tidak maka aku dapat mencampakannya. Temple Grandin adalah wanita pintar penyandang autisme yang menceritakan bagaimana beliau harus memakai baju baru ketika masih anak anak – kulitnya rasanya seperti di-amplas. Akupun merasa hal yang sama jika di-minta memakai baju baru.

Jika aku pergi kesuatu tempat, aku akan terlihat seperti seorang otoriter yang suka mendikte orang. Hal ini terjadi karena dengan melakukan itu, aku mencoba untuk dapat beradaptasi dengan dunia di sekitarku, yang bagiku sendiri amat sulit dimengerti.

Semua keadaan harus terlebih dahulu aku pahami jika tidak maka maka aku menjadi frustasi dan bingung. Ini tidaklah berarti engkau harus merubah caramu melakukan sesuatu – hanya saja engkau perlu bersabar dengan sikapku dan mengerti bagaimana sulitnya aku harus beradaptasi. Mama dan papa juga tidak dapat untuk mengontrol perasaanku ini. Penyandang autisme sering harus melakukan sesuatu untuk membantu mereka agar dapat merasa lebih nyaman. Para orang tua menyebutnya ‘self regulation’. Aku mungkin bergerak berulang-ulang kesana-kemari, bergumam, menaruh jari-jariku ke muka, mengibas-ibaskan tangan, atau mengerakan benda yang berbeda-beda. Aku bukanlah mencoba untuk mengganggu atau bersikap aneh tapi aku melakukannya agar otakku dapat beradaptasi dengan dunia-mu.

Kadangkala aku tidak dapat berhenti berbicara, bernyanyi ataupun berpartisipasi dalam satu aktifitas. Aku melakukan ini karena aku merasa telah menemukan sesuatu yang membuatku sibuk dan merasa nyaman. Aku tidak ingin keluar dari keadaan ini untuk bergabung kembali dengan duniamu yang sangat sulit kumengerti. Kebiasaan ini membuatku merasa lebih baik. Ijinkanlah aku untuk melakukan kebiasaan ini dan mohon hormati orang tuaku jika mereka mengijinkan aku melakukannya.

Orang tuaku akan terlihat lebih banyak mengawasiku dari pada orang tua lain – hal ini semata mata demi untuk kebaikanku dan memudahkanku menyesuaikan diri dengan orang lain. Akan menyakitkan bagi orangtuaku jika mereka dikatakan terlalu melindungi anaknya ataupun tidak mengawasi anak dengan baik. Mereka adalah manusia biasa yang diberikan tugas mulia. Orang tuaku adalah orang yang baik dan mereka memerlukan dukunganmu.

Hari raya penuh dengan keceriaan, suara suara dan bau-bauan. Suasana rumah menjadi sibuk ramai seperti tempat pesta. Mohon diingat mungkin suasana ini akan sangat menyenangkanmu tapi bagiku adalah suatu kerja keras untuk menyesuaikan diri.

Jika aku gagal dan bersikap tidak sesuai dengan keinginanmu – mohon sadarilah bahwa sistim di otak-ku tidak dapat mengikuti norma dan aturan orang kebanyakan.

Aku adalah orang yang unik dan mungkin juga menarik. Pada hari raya ini, aku akan mencari suatu tempat dimana aku dan kamu dapat bersama sama merasa nyaman asalkan kamu bersedia melihat dunia ini melalui mata-ku.

Apa yang ada di benak kalian setelah membaca curahan hati seorang autis di atas?

Viki Satkiewicz Gayhardt (USA)
sumber: http://puterakembara.org/archives10/bunga_rampai.pdf

06
Apr
10

TEKNOLOGI DAN MEDIA KOMUNIKASI:

DAMPAK PSIKOLOGIS ADANYA HI-TECH COMMUNICATION

 

1.1 Pendahuluan

Seiring dengan kemajuan zaman dan perkembangan teknologi, tak dapat dinafikkan bahwa media komunikasi berteknologi saat ini sangat berkembang dengan pesat. Mungkin perkembangan teknologi komunikasi ini akan lebih cepat daripada perkembangan teknologi transportasi. Sebagai suatu misal, perkembangan HP akan lebih cepat daripada perkembangan mobil dan lain sebagainya. Ini yang menunjukkan bahwa teknologi komunikasi yang diidentikkan perkembangan artificial intelligence (representasi kecerdasan manusia) akan berkembang lebih cepat.

Ada berapa jenis media komunikasi berteknologi yang Anda ketahui?”

Pertanyaan itu sebaiknya Anda tanyakan terlebih dahulu dalam diri Anda, renungkan, fikirkan dan jawablah! Setelah itu diskusikan jawaban tersebut dengan teman Anda!

Kalau benar-benar kita fikirkan, kemampuan komunikasi ini adalah anugerah dari Tuhan Yang Maha Kasih. Akan tetapi kenapa kita harus membayar hanya untuk berkomunikasi dengan orang lain dengan media berteknologi? Sebenarnya bukan kemampuan komunikasi yang dibisnikan karena itu adalah anugerah dari Tuhan namun teknologi inilah yang dibisniskan. Orang akan berani membayar mahal dengan media komunikasi yang jauh lebih hi-tech. Buktinya sekarang ini blackberry dan i-Phone akan lebih mahal daripada HP biasa yang jadul.

1.2 Definisi Media Komunikasi dan Fungsinya

Secara sederhananya, media komunikasi ialah perantara dalam penyampaian informasi dari komunikator kepada komunikate yang bertujuan untuk efisiensi penyebaran informasi atau pesan tersebut. Sedangkan fungsi media komunikasi yang berteknologi tinggi ialah sebagai berikut (Burgon & Huffner, 2002);

a.       Efisiensi penyebaran informasi; dengan adanya media komunikasi terlebih yang hi-tech akan lebih membuat penyebaran informasi menjadi efisien. Efisiensi yang dimaksudkan di sini ialah penghematan dalam biaya, tenaga, pemikiran dan waktu. Misalnya, kita memberikan ucapan selamat hari raya Idul Fitri atau Natal cukup melalui SMS, MMS, e-mail, mailist dan media canggih lainnya. Hal ini lebih disukai karena nilai praktisnya jika dibandingkan dengan mengirimkan kartu lebaran atau kartu Natal dengan waktu yang lebih lama. Namun apakah cukup efektif?

b.      Memperkuat eksistensi informasi; dengan adanya media komunikasi yang hi-tech, kita dapat membuat informasi atau pesan lebih kuat berkesan terhadap audience/ komunikate. Suatu contoh, dosen yang mengajar dengan multimedia akan lebih efektif berkesan daripada dosen yang mengajar secara konvensional.

c.       Mendidik/ mengarahkan/ persuasi; media komunikasi yang berteknologi tinggi dapat lebih menarik audience. Sebagaimana kita pelajari pada bab sebelumnya tentang komunikasi persuasi maka hal yang menarik tentunya mempermudah komunikator dalam mempersuasi, mendidik dan mengarahkan karena adanya efek emosi positif.

d.      Menghibur/ entertain/ joyfull; media komunikasi berteknologi tinggi tentunya lebih menyenangkan (bagi yang familiar) dan dapat memberikan hiburan tersendiri bagi audience. Bahkan jika komunikasi itu bersifat hi-tech maka nilai jualnya pun akan semakin tinggi. Misalnya, presentasi seorang marketing akan lebih mempunyai nilai jual yang tinggi jika menggunakan media komunikasi hi-tech daripada presentasi yang hanya sekedar menggunakan metode konvensional.

e.       Kontrol sosial; media komunikasi yang berteknologi tinggi akan lebih mempunyai fungsi pengawasan terhadap kebijakan sosial. Seperti misalnya, informasi yang disampaikan melalui TV dan internet akan lebih mempunyai kontrol sosial terhadap kebijakan pemerintah sehingga pemerintah menjadi cepat tanggap terhadap dampak kebijakan tersebut. Masih ingat kasus facebookers pendukung Bibit & Chandra?

1.3 Kelebihan Hi-Tech Communication

Sebagai upaya kemajuan teknologi yang fungsi utamanya membantu kehidupan manusia maka hi-tech communication mempunyai kelebihan sebagai berikut;

a.       Pencapaian penyebaran informasi yang efisien. Semakin canggih media komunikasi yang kita punyai maka informasi akan lebih efisien dalam penyebarannya. Efisien dalam hal waktu, utamanya. Namun waktu yang efisien ini juga akan berimbas juga kepada tenaga, pemikiran dan biaya tentunya.

b.      Daya tarik. Dengan media komunikasi yang berteknologi tinggi maka keingintahuan (need of curiousity) audience akan semakin besar sehingga daya tarik proses komunikasi akan semakin besar pula.

c.       Upaya pencapaian efektivitas komunikasi; jika daya tarik semakin besar maka upaya untuk mencapai komunikasi yang efektif juga dapat tercapai.

d.      Daya jual informasi semakin tinggi

e.       Trend, penghargaan sosial dan harga diri. Orang yang mengikuti perkembangan media komunikasi hi-tech akan dikenali sebagai orang yang mengikuti trend. Anggapan sosial inilah yang membuat orang merasa mendapat penghargaan sosial bahwa ia adalah orang yang mengikuti trend. Kemudian penghargaan sosial inilah yang mendorong manusia untuk mencapai harga diri yang semakin tinggi.

1.4 Dampak Psikologis Hi-Tech Communication yang Membahana

Selain adanya kelebihan pada hi-tech communication yang telah disinggung pada bagian sebelumnya maka sebenarnya terdapat beberapa dampak psikologis, antaranya;

  1. Individual space meningkat, yaitu meningkatnya ruang invidual karena telah memperoleh informasi melalui media komunikasi yang canggih, misalnya internet. Orang akan lebih menyukai duduk di depan computer yang berinternet daripada bersosialisasi dengan orang lain di dunia nyata. Dengan demikian, social space akan menyempit dan digusur dengan individual space tersebut.
  2. Kecemasan sosial terhadap suatu fenomena meningkat. Dengan adanya media komunikasi yang berteknologi tinggi maka informasi akan lebih cepat menyebar. Contohnya, informasi mengenai wabah flu burung. Sebelum adanya informasi tersebut, orang tidak takut mengkonsumsi unggas. Namun setelah adanya informasi yang menyebar dengan cepat mengenai flu burung maka kecemasan sosial terjadi, yaitu orang merasa takut untuk mengkonsumsi unggas. Begitu juga fenomena tsunami di Aceh, sehingga setiap kali gempa di beberapa daerah, orang akan mencari informasi tentang kemungkinan tsunami. Inilah yang menjadi contoh adanya kepanikan sosial (social anxiety) karena media komunikasi berteknologi tinggi yang membahana.
  3. Kebutuhan komersial masyarakat meningkat; sebagaimana kita ketahui sebelumnya bahwa media komunikasi yang hi-tech akan mempengaruhi minat audience dan mempersuasi audience. Oleh karena itu, hal ini digunakan oleh perusahaan jasa komunikasi dan perusahaan komersial untuk memanfaatkan sifat konsumerisme masyarakat ini.
  4. Kriminalitas meningkat; jika kita melihat tayangan di TV mengenai informasi atau film tentang kriminalitas dengan modus yang canggih maka ini sebenarnya merupakan inspirasi bagi pelaku kejahatan lainnya. Proses meniru tayangan kriminalitas ini yang dikenali sebagai modeling perilaku kejahatan. Apalagi kalau kita mencermati modus operandi kejahatan di dunia maya (internet) yang sedang marak maka seolah-olah mudah sekali melakukan kejahatan yang dibantu dengan media komunikasi berteknologi tinggi. Masih ingat kasus penipuan melalui e-mail, HP dan chatting?
  5. Pemenuhan rasa ingin tahu (need of curiousity); sudah menjadi kodrat manusia diciptakan dengan kekuatan pemikiran yang luar biasa. Pemikiran ini yang dirangsang dengan rasa ingin tahu atau penasaran yang besar. Dengan media komunikasi yang berteknologi tinggi, terjawablah rasa penasaran manusia tentang apapun itu. Semua bisa kita cari di internet dengan menggunakan kata kunci tertentu. Mudah kan?
  6. Tehnologi dapat mengurangi kreativitas; teknologi yang menjadi alat bantu manusia menjanjikan sejuta efisiensi. Oleh karena itu, manusia akan menjadi malas karena kemajuan teknologi tersebut. Sebagai misal, aktivitas copy-paste di mahasiswa akan menjadi budaya plagiat di kemudian hari. Pada akhirnya kreativitas seseorang dapat menurun jika ia tak pandai memanfaatkan teknologi untuk pengembangan dirinya.

1.5 Excellent With Morality

Jika kita telah mengetahui dampak positif dan negatif hi-tech communication maka semua tergantung orangnya sendiri (the man who behind the gun). Oleh karena itu,

“Baik-buruknya suatu teknologi tergantung dari manusia yang memanfaatkannya”

disadur dari: http://baguspsi.blog.unair.ac.id/

Rujukan :

Brehm & Kassin. 1996. Social Psychology. Third Edt. Boston: Houghton Mifflin Co.

Burgon & Huffner. 2002. Human Communication. London: Sage Publication.

06
Apr
10

KOMUNIKASI INTERPERSONAL

1.1 Pendahuluan

Jenis-jenis komunikasi:

a.       Komunikasi intrapersonal; komunikasi yang terjadi dalam diri sendiri maka tindak balas yang dilakukan ialah dalam internal diri sendiri. Contoh, komunikasi yang terjadi saat kita merenung, berdialog dengan diri sendiri (baik sadar maupun secara tidak sadar, misalnya sedang tidur).

b.      Komunikasi interpersonal; komunikasi yang dilakukan dengan orang lain sehingga tindak balas dan evaluasinya memerlukan orang lain. Contoh, komunikasi dengan pacar, teman, dosen, orang tua dan lain sebagainya.

c.       Komunikasi massa; komunikasi yang dilakukan dalam kumpulan manusia yang terjadi proses sosial di dalamnya, baik melalui media atau langsung dan bersifat one way communication. Contoh, komunikasi yang terjadi di televisi, web-site, blog, iklan dan lain sebagainya.

Pada bab ini, pertanyaan untuk merangsang proses berpikir kita ialah:

Bilamana kita melakukan komunikasi intrapersonal?”

Pertanyaan itu sebaiknya Anda tanyakan terlebih dahulu dalam diri Anda, renungkan, fikirkan dan jawablah! Setelah itu diskusikan jawaban tersebut dengan teman Anda!

Menjawab pertanyaan tersebut, sebaiknya kita merujuk beberapa hal sebagai berikut;

a.       Manusia hidup pasti membutuhkan  hidup membutuhkan komunikasi baik dengan diri sendiri (intrapersonal) maupun dengan orang lain (interpersonal).

b.      Komunikasi intrapersonal terjadi pada pra-sesaat-pasca komunikasi interpersonal. Oleh karena itu, komunikasi intrapersonal selalu mengiringi komunikasi interpersonal.

c.       Komunikasi intrapersonal bertujuan untuk melakukan prediksi, evaluasi dan penguatan/ pelemahan. Sebagai contoh, pada saat kita berkomunikasi dengan orang lain, timbul perbincangan dengan diri kita untuk prediksi bagaimana rasanya berkomunikasi dengan orang itu, akan nyamankah berbincang dengannya? Sewaktu dan setelah berbincang dengan orang itu, kita kembali akan mengevaluasi bagaimana proses perbincangan tadi, nyamankah berbincang dengannya. Jika kita merasa nyaman dalam berkomunikasi dengan orang lain (komunikasi interpersonal) maka prediksinya kita akan mengulang kembali berkomunikasi dengannya. Inilah yang disebut sebagai proses penguatan. Namun akan terjadi proses pelemahan jika terjadi evaluasi negatif terhadap proses komunikasi dengan orang tersebut.

1.2 Sistem Komunikasi Intrapersonal

Maha bijaksana Tuhan yang telah mengatur proses komunikasi intrapersonal yang melibatkan beberapa unsur atau elemen sebagai berikut (Burgon & Huffner, 2002);

a.       Sensasi, yaitu proses menangkap stimulus (pesan/informasi verbal maupun non verbal). Pada saat berada pada proses sensasi ini maka panca indera manusia sangat dibutuhkan, khususnya mata dan telinga.

b.      Persepsi, yaitu proses memberikan makna terhadap informasi yang ditangkap oleh sensasi. Pemberian makna ini melibatkan unsur subyektif. Contohnya, evaluasi komunikan terhadap proses komunikasi, nyaman tidakkah proses komunikasi  dengan orang tersebut?

c.       Memori, yaitu proses penyimpanan informasi dan evaluasinya dalam kognitif individu. Kemudian informasi dan evaluasi komunikasi tersebut akan dikeluarkan atau diingat kembali pada suatu saat, baik sadar maupun tidak sadar. Proses pengingatan kembali ini yang disebut sebagai recalling.

d.      Berpikir, yaitu proses mengolah dan memanipulasi informasi untuk memenuhi kebutuhan atau menyelesaikan masalah. Proses ini meliputi pengambilan keputusan, pemecahan masalah dan berfikir kreatif. Setelah mendapatkan evaluasi terhadap proses komunikasi interpersonal maka ada antisipasi terhadap proses komunikasi yang selanjutnya. Contohnya, jika kita merasa tidak nyaman berkomunikasi dengan dosen maka kita mempunyai cara untuk antisipasi agar komunikasi di kemudian hari menjadi lancar.

1.3 Definisi Komunikasi Interpersonal

Komunikasi interpersonal ialah komunikasi yang dilakukan kepada pihak lain untuk mendapatkan umpan balik, baik secara langsung (face to face) maupun dengan media. Berdasarkan definisi ini maka terdapat kelompok maya atau faktual (Burgon & Huffner, 2002). Contoh kelompok maya, misalnya komunikasi melalui internet (chatting, face book, email, etc.). Berkembangnya kelompok maya ini karena perkembangan teknologi media komunikasi.

Terdapat definisi lain tentang komunikasi interpersonal, yaitu suatu proses komunikasi yang bersetting pada objek-objek sosial untuk mengetahui pemaknaan suatu stimulus (dalam hal ini: informasi/pesan) (McDavid & Harari).

1.4 Fungsi Komunikasi Interpersonal

Komunikasi interpersonal mempunyai komunikasi sebagai berikut;

a.       Untuk mendapatkan respon/ umpan balik. Hal ini sebagai salah satu tanda efektivitas proses komunikasi. Bayangkan bagaimana kalau tidak ada umpan balik, saat Anda berkomunikasi dengan orang lain. Bagaimana kalau Anda sms ke orang lain tetapi tidak dibalas?

b.      Untuk melakukan antisipasi setelah mengevaluasi respon/ umpan balik. Contohnya, setelah apa yang akan kita lakukan setelah mengetahui lawan bicara kita kurang nyaman diajak berbincang.

c.       Untuk melakukan kontrol terhadap lingkungan sosial, yaitu kita dapat melakukan modifikasi perilaku orang lain dengan cara persuasi. Misalnya, iklan yang arahnya membujuk orang lain.

1.5 Peringkat Analisis Komunikasi Interpersonal

Dalam mengevaluasi komunikasi interpersonal, kita memerlukan suatu kemampuan analisis terhadap proses komunikasi tersebut. Analisis tersebut tergantung dari peringkat atau level analisisnya. Beberapa level analisis itu antaranya;

  1. Cultural level data, yaitu level analisis yang didasari oleh aturan, norma atau kebiasaan yang menjadi budaya suatu komunitas dalam berkomunikasi, biasanya pada komunikasi non verbal. Contohnya, perbedaan makna “anggukan” dan “gelengan” kepala antara orang Indonesia dengan orang India.
  2. Sociological level data, yaitu level analisis yang didasari oleh prediksi keterkaitan antara individu dengan komunitas sosialnya (membership group). Level analisis ini berkaitan antara peringkat individu dengan lingkungan sosialnya. Inilah akomodasi antara proses yang terjadi dalam peringkat individual yang diinternalisasi dalam dirinya selama hidup dengan proses yang terjadi pada peringkat lingkungan sosial yang baru saja mempengaruhi nilai-nilai pada individu. Contohnya, orang Indonesia yang baru saja tiba di luar negeri dan harus menyesuaikan dengan komunikasi di luar negeri maka akan terjadi akomodasi nilai-nilai individu dengan lingkungan barunya (membership group vs reference group).
  3. Psychological level data, yaitu level analisis prediksi perilaku spesifik dalam transaksi komunikasi. Misalnya saat individu berbohong maka ia akan melakukan mekanisme pertahanan diri (self defence mechanism). Atau dengan kata lain, ia akan melakukan rasionalisasi agar pesan/ informasinya tetap dipercaya oleh orang lain.

1.6 Derajad Perbandingan Komunikan

Sebagai peserta komunikasi (komunikan) seringkali kita merasakan adanya persamaan dan perbedaan ketika berkomunikasi dengan orang lain. Persamaan dan perbedaan itulah yang disebut sebagai derajad perbandingan komunikan. Beberapa jenis derajad itu antaranya;

a.       Homophily, yaitu derajad interaksi interpersonal yang memiliki kesamaan dalam atribut (sikap, pengalaman, bahasa, intelektual, dsb). Sering berkomunikasi akan mempertinggi homophily. Contoh, orang yang memiliki hobi yang sama akan mempunyai derajad homophily yang tinggi (Rogers).

b.      Heterophily, yaitu derajad interaksi interpersonal yang atributnya berbeda. Derajad ini kurang efektif untuk mencapai tujuan komunikasi kecuali keduanya memiliki empati (Rogers & Bhowmik).

Beberapa hal yang mempengaruhi komunikasi interpersonal antara lain;

  1. Pengalaman, yaitu berkaitan dengan persepsi dan informasi yang disimpan dalam memori dan digunakan untuk memberikan evaluasi terhadap proses komunikasi interpersonal. Misalnya, pengalaman dalam membaca respon non verbal/ kinestik.
  2. Motivasi, yaitu  manusia sebagai individu aktif mengatur stimulus apa yang akan direspon mana yang tidak (tergantung motivasi).
  3. Kepribadian. Dalam suatu penelitian dinyatakan bahwa individu non otoriter lebih cermat dalam mengevaluasi stimulus daripada individu yang otoriter. Hal ini berkaitan orang yang otoriter biasanya selalu berfokus terhadap dirinya sendiri. Selain itu, orang otoriter cenderung melakukan proyeksi sehingga kurang cermat dalam mengevaluasi stimulus dari orang lain.

1.7 Ketertarikan Kepada Orang Lain (Interpersonal Attraction)

Tentunya dalam menjalin hubungan dengan orang lain, terlebih jika mempunyai derajad homophily yang tinggi maka komunikan akan mempunyai ketertarikan satu sama lain. Ketertarikan terhadap orang lain ini bisa terjadi pada pra-saat-setelah komunikasi interpersonal. Pada saat pra atau sebelum komunikasi interpersonal disebabkan oleh memes yang telah kita bicarakan pada bab sebelum ini. Seseorang bisa tertarik kepada orang lain dalam berkomunikasi karena adanya penghargaan (reward) yang berupa umpan balik positif. Inilah yang disebutkan tadi sebagai proses penguatan. Beberapa faktor yang menyebabkan ketertarikan terhadap orang lain;

  1. Faktor karakteristik orang lain; orang tertarik kepada orang lain lebih disebabkan oleh fisik (physical attraction). Selain itu, orang tertarik dan lebih merasa tertantang jika mengalami kesulitan dalam meraih perhatian dari orang lain (hard to get effect).
  2. Faktor situasional; orang tertarik kepada orang lain karena biasa bertemu dalam tempat yang dekat (proximity) dan orang tertarik kepada orang lain karena ikatan emosional (familiarity).

Dalam berkomunikasi dengan orang lain maka seringkali ada suatu permasalahan meskipun komunikasi tersebut didasari dengan ketertarikan. Menurut Brehm & Kassin (1996), masalah komunikasi tersebut diantaranya;

a.       Negative affect reciprocity, yaitu proses komunikasi yang bermasalah karena salah satu komunikan membangkitkan kesalahan lawan bicaranya pada masa yang harmonis. Misalnya, suami membangkitkan kesalahan isterinya yang dulu pernah berselingkuh. Permasalahan itu dibangkitkan pada masa yang sedang harmonis.

b.      Demand/ withdraw interaction, yaitu proses komunikasi yang bertepuk sebelah tangan atau tidak ada kesepakatan dalam proses berkomunikasi.

1.8 Hambatan dalam Komunikasi Interpersonal

Seringkali komunikan tidak saling memahami maksud pesan atau informasi dari lawan bicaranya. Hal ini disebabkan beberapa masalah antara;

a.       Komunikator;

·        Hambatan biologis, misalnya komunikator gagap.

·        Hambatan psikologis, misalnya komunikator yang gugup.

·        Hambatan gender, misalnya perempuan tidak bersedia terbuka terhadap lawan bicaranya yang laki-laki.

b.      Media;

·        Hambatan teknis, misalnya masalah pada teknologi komunikasi (microphone, telepon, power point, dan lain sebagainya).

·        Hambatan geografis, misalnya blank spot pada daerah tertentu sehingga signal HP tidak dapat ditangkap.

·        Hambatan simbol/ bahasa, yaitu perbedaan bahasa yang digunakan pada komunitas tertentu. Misalnya kata-kata “wis mari” versi orang Jawa Tengah diartikan sebagai sudah sembuh dari sakit sedangkan versi orang Jawa Timur diartikan sudah selesai mengerjakan sesuatu.

·        Hambatan budaya, yaitu perbedaan budaya yang mempengaruhi proses komunikasi.

c.       Komunikate;

·        Hambatan biologis, misalnya komunikate yang tuli.

·        Hambatan psikologis, misalnya komunikate yang tidak berkonsentrasi dengan pembicaraan.

·        Hambatan gender, misalnya seorang perempuan akan tersipu malu jika membicarakan masalah seksual dengan seorang lelaki.

1.9 Keterbukaan Diri

Dalam berkomunikasi interpersonal, tentunya kita memerlukan keterbukaan diri. Menurut Altman & Taylor (1973), keterbukaan diri adalah suatu pertukaran sosial sebagai dasar membangun hubungan. Kemudian Altman & Taylor ini yang melahirkan teori penetrasi sosial sebagaimana yang telah dibahas pada bab sebelumnya.

Berkaitan dengan keterbukaan diri ini, terdapat sebuah penelitian dari Hansen & Schuldt (1984, dalam Brehm & Kassin, 1996) bahwa

  1. Kita terbuka dengan apa yang kita suka
  2. Kita suka terhadap orang yang mampu membuka diri
  3. Kita suka terhadap informasi yang terbuka

Dalam keterbukaan diri, ternyata terdapat beberapa penelitian yang mengacu terhadap perbedaan individu dalam menyampaikan keterbukaan diri. Misalnya;

a.       Usia. Semasa kecil manusia mempunyai keterbukaan diri yang lebih tinggi daripada ketika dewasa. Kemudian menginjak usia tua, manusia kembali mempunyai keterbukaan diri yang lebih besar.  Contoh, sewaktu kecil kita sering membuka diri kita terhadap apa yang kita lakukan kepada orang tua. Setelah menginjak remaja hingga dewasa, kita kembali menutup diri kepada lingkungan sosial kita. Namun setelah tua, kita kembali membuka informasi tentang diri kita kepada orang lain. Hal ini dapat diasumsikan dengan kurve U.

b.      Perbedaan gender. Dindia & Allen (1992, dalam Brehm & Kassin, 1996) mempunyai penelitian dengan hasil sebagai berikut;

Dalam tabel tersebut, kita dapat melihat bahwa;

a.       Perempuan membuka diri terhadap sesama perempuan akan lebih bisa terbuka daripada laki-laki membuka diri terhadap perempuan.

b.      Perempuan membuka diri terhadap sesama perempuan akan lebih bisa terbuka daripada laki-laki membuka diri terhadap sesama laki-laki.

c.       Perempuan membuka diri terhadap laki-laki akan lebih bisa terbuka daripada laki-laki membuka diri terhadap perempuan.

d.      Perempuan membuka diri terhadap laki-laki sama-sama bisa terbuka antara laki-laki membuka dirinya terhadap laki-laki.

Namun penelitian-penelitian tersebut dalam setting budaya barat. Belum tentu sama hasilnya jika dilakukan di setting budaya timur, seperti di Indonesia, sebagaimana kita ketahui bahwa budaya dapat mempengaruhi dalam proses komunikasi.

disadur dari: http://baguspsi.blog.unair.ac.id/

Rujukan :

Altman & Taylor. 1973. Social Relationship. Dlm. Brehm & Kassin. 1996. Social Psychology. Third Edt. Boston: Houghton Mifflin Co.

Brehm & Kassin. 1996. Social Psychology. Third Edt. Boston: Houghton Mifflin Co.

Burgon & Huffner. 2002. Human Communication. London: Sage Publication.

Dawkin, R. 1976. Theories of Memes. London: Open University.

06
Apr
10

BUDAYA, BAHASA DAN KOMUNIKASI

1.1 Pendahuluan

Sebagaimana konsistensi kita terhadap pendahuluan selalu diawali dengan sebuah pertanyaan yang akan merangsang proses kognitif kita maka pertanyaan pada bab ini ialah;

“Apa yang terjadi jika kita hidup tanpa budaya dan bahasa?”

“Apa yang terjadi jika kita hidup di zaman batu?

“Apa yang terjadi jika tidak ada Bahasa Indonesia?

Pertanyaan itu sebaiknya Anda tanyakan terlebih dahulu dalam diri Anda, renungkan, fikirkan dan jawablah! Setelah itu diskusikan jawaban tersebut dengan teman Anda!

1.2 Aspek Budaya dalam Komunikasi

Dengan kesibukan kita, mungkin kita lupa bersyukur kepada Tuhan bahwa kita diciptakan dalam bentuk dan sifat yang terbaik dibandingkan dengan mahluk yang lain. Perbedaan utama kita dengan mahluk yang lain, ialah kemampuan kita berfikir dan merasakan dengan moral yang jauh lebih tinggi daripada mahluk lainnya. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika Tuhan menitahkan kita sebagai ‘pemimpin’ bagi mahluk yang lain. Hal tersebut bukanlah perkara yang datang begitu saja sebab Tuhan telah memberikan kita kenikmatan kekuatan pemikiran dan perasaan moral tersebut. Kekuatan itulah yang disebut sebagai budaya. Dari asal kata BUDI dan DAYA. Budi bermakna pemikiran/ perasaan sedangkan daya berarti kemampuan. Hal tersebut bermakna bahwa hanya manusialah yang mempunyai kekuatan tersebut untuk membuat kehidupan dirinya dan mahluk yang lain menjadi lebih baik. Hanya manusialah yang mempunyai budaya yang lebih baik dari mahluk lain. Dengan kekuatan tersebut maka manusia diharapkan mampu memimpin alam semesta ini. Tetapi tentu saja, menjadi pemimpin tidaklah mudah sebab kita pasti diminta pertanggungjawaban terhadap semua amal perbuatan kita dalam memimpin, setidaknya memimpin diri kita sendiri. Sudahkah kita mengendalikan diri dalam berkomunikasi?

Asking is thinking yang saya sajikan diatas tentunya berkaitan dengan budaya manusia, terutama dalam proses berkomunikasi. Para sosiolog dan antropolog menyarikan bahwa budaya merupakan proses konvensi atau kesepakatan berdasarkan pemikiran dan perasaan manusia dengan kumpulannya. Termasuk salah satunya ialah kesepakatan bahasa. Perlu ditekankan dalam pemaknaan bahasa di sini bukan saja perihal komunikasi verbal tetapi juga bahasa yang mengarah kepada non verbal. Secara jelas, mungkin kita tetap bisa hidup tanpa budaya dan bahasa, namun tidak sebaik sekarang. Mungkin kita tetap bisa hidup di zaman batu karena budaya dan bahasa yang disepakati pada saat itu lebih sederhana daripada sekarang ini. Namun karena kita telah terbiasa dengan kemajuan budaya dan bahasa kita sehingga kalau sekarang kita diminta kembali ke zaman batu tentunya akan mengalami tekanan (stress). Mengapa stress? Karena terjadi kesenjangan antara harapan kita yang ingin berkomunikasi da berbudaya secara maju namun realitanya kalau kita kembali ke zaman batu, hal tersebut tidak mungkin terjadi. Oleh karena itu, fenomena akan selalu kembali merujuk kepada konteksnya (Albert Camus).

Oleh karena pentingnya budaya dalam proses komunikasi sebagai salah satu determinan atau faktor penentu maka Burgon & Huffner (2002) menjelaskan bahwa budaya merupakan salah satu fondasi utama dalam proses komunikasi. Pernyataan ini mempunyai alas an bahwa budaya merupakan faktor pembentuk adanya bahasa yang disepakati dalam komunitas tertentu. Sekali lagi, perluasan jenis bahasa ini termasuk bahasa verbal dan non verbal. Contoh bahasa yang terbentuk dengan kesepakatan budaya secara verbal ialah Bahasa Indonesia. Sedangkan contoh bahasa yang terbentuk dengan kesepakatan budaya secara non verbal dalam konteks budaya Indonesia ialah ‘anggukan’ yang berarti setuju atau ‘ya’. Mungkin akan berbeda kalau kita melihat dalam konteks budaya lain, seperti ‘anggukan’ di konteks budaya India berarti ‘tidak’ atau ‘nehi’ dan sebaliknya untuk ‘gelengan’ kepala. Sekali lagi semua terikat dalam suatu konteks budaya.

1.3 Aspek Bahasa dalam Komunikasi

Bahasa merupakan simbol yang general dan disepakati oleh suatu komunitas untuk menyampaikan pesan, keinginan dan persepsi (jembatan komunikasi). Jenis bahasa dikategorikan beberapa hal (Wikipedia, 2008):

  1. Bahasa : bahasa verbal & non verbal
  2. Bahasa : tulis & lisan
  3. Bahasa : bahasa resmi & bahasa pergaulan (prokem)

1.3.1 Proses Pembentukan Bahasa

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa budaya merupakan pembentuk bahasa maka bahasa yang terbentuk ini pun sebenarnya juga merupakan kesepakatan atau konvensi yang mengakar budaya pada suatu komunitas yang lebih kecil (mikrosistem). Jika bahasa yang digunakan mikrosistem ini eksis, berkembang dan menyebar maka dapat diterima oleh makrosistem. Sebagai contoh, bahasa Melayu (Riau & Kepulauan Sumatera) yang merupakan dasar pembentukan bahasa Indonesia dapat berkembang karena menjadi lingua franca atau bahasa pergaulan, seperti dalam perdagangan, penaklukan suatu kerajaan (politik), pendidikan dan perkawinan.

Bahasa Melayu sudah lama digunakan dalam budaya Melayu di wilayah Nusantara, antaranya di Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Thailand Selatan (Pattani), Filipina, Vietnam, Kemboja, Kepulauan Pasifik, Sri Lanka, Cape Town, Papua dan Timor Leste. Oleh karena itu, diperkirakan lebih dari 300 juta orang menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa kehidupan sehari-hari. Bahkan bahasa Melayu dikenal sebagai bahasa terbesar keempat di dunia setelah bahasa Inggeris, bahasa Mandarin dan bahasa Hindi/ Urdu (Asmah, 1998). Kemudian bahasa Melayu ini berkembang sesuai dengan kondisi sejarah, demografi, pendidikan dan politik di setiap wilayah yang menggunakannya (Zack, 2007).

Dalam bahasa Indonesia sendiri telah mempunyai kesepakatan untuk membakukan bahasa verbal dalam bentuk tulisan (simbol) dan ucapan. Kesepakatan budaya ini yang telah dibakukan dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD).

1.3.2  Bahasa dalam Lintas Budaya

Kita tidak dapat menafikan bahwa bahasa sangat terpengaruh oleh budaya. Oleh karena zaman globalisasi ini maka memungkinkan budaya saling bersinggungan. Persinggungan dan pertemuan budaya inilah yang memungkinkan manusia memasuki alam lintas budaya. Menurut catatan Burgon & Huffner (2002), beberapa perbedaan bahasa dalam lintas budaya dapat terlihat dari;

a.       Perbedaan bahasa non verbal à contoh: ‘anggukan’ dalam konteks budaya Indonesia dengan India, cipika-cipiki (touching) dalam konteks budaya timur dengan barat.

b.      Perbedaan intonasi à contoh: intonasi yang meninggi di Jawa Timur akan dirasa ‘mendikte’ oleh orang yang mempunyai orientasi budaya Jawa Tengah atau Yogyakarta.

c.       Perbedaan pemaknaan bahasa/ kata à contoh: kata ‘butuh’ dalam konteks budaya Indonesia dimaknai sebagai keperluan dan dalam konteks budaya Malaysia dimaknai sebagai alat kelamin.

d.      Perbedaan diksi à konteks budaya Jawa Timur cenderung lebih asertif dalam menyampaikan pendapat daripada konteks budaya Jawa Tengah yang cenderung ‘unggah-ungguh’ sehingga diksinya pun berbeda. Contoh: leveling diksi penyebutan ‘kamu’ dalam konteks budaya Jawa Tengah yang berjenjang, yaitu ‘kowe’, ‘sampeyan’, ‘panjenengan’, ‘pangandika’.

1.3.3  Hal-hal yang Berkaitan dengan Penggunaan Bahasa

a. Dalam kaitannya dengan lintas budaya, seseorang dapat mengalami cultural shock jika tidak mampu menyesuaikan diri dalam proses komunikasi lintas budaya. Hal ini merupakan hasil penelitian dari Furnham & Bochner (1986).

b. Komunikasi dengan bahasa non verbal membantu penegasan komunikasi verbal lintas budaya (Hammer, 1989). Hal ini disebabkan karena bahasa non verbal lebih universal daripada bahasa verbal.

c.    Dalam era globalisasi ini maka memungkinan terjadinya persinggungan budaya dan bahasa. Bahkan memungkinkan terjadinya ‘penjajahan bahasa’ baik melalui penjajahan fisik, pendidikan/ scholarship, bisnis, agama dan lain sebagainya. Dikatakan sebagai ‘penjajahan bahasa’ karena dalam bahasa itu juga termasuk di dalamnya budaya asal dari bahasa tersebut.

1.4 Excellent with Morality

Menutup bab ini maka petikan moral akan mengangkat dua filosofi terkenal:

Kuasailah kemajuan suatu bangsa melalui budaya dan bahasanya”

“Dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”

Pemaknaannya:

Kedua filosofi tersebut menyiratkan kepada kita mengenai penyesuaian diri atau kemampuan adaptasi kita terhadap suatu budaya dan bahasa. Bahkan kita dapat menguasai atau setidaknya mencontoh kemajuan suatu bangsa jika kita menguasai budaya dan bahasa. Tentu saja, tanpa harus melunturkan nilai-nilai positif budaya kita sendiri.

disadur dari: http://baguspsi.blog.unair.ac.id/

Rujukan :

Arbak Othman. 1994. Kamus bahasa Melayu. Kuala Lumpur: Penerbit Fajar Bakti Sdn.Bhd.

Asmah Haji Omar. 1998. Setia dan santun bahasa. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Budiyono. 2005. Kamus lengkap bahasa Indonesia. Surabaya: Penerbit Bina Ilmu.

Burgon & Huffner. 2002. Human Communication. London: Sage Publication.

Zack, A. 2007. Perbincangan: Bahasa Melayu. http://ms.wikipedia.org/wiki/Perbincangan:Bahasa_Melayu  [8 Februari 2008].




hay..hay..hay…

semuanya yang sudah nyasar di blog ini...(mungkin)anda salah satu orang yang beruntung...hehehehe... terimakasih sudah sudi mampir...tapi jangan lupa isi guest book dan beri komen juga yah...kamsya...matur nuwun... ^^,

visitors

  • 84.714 orang

sekarang tanggal berapa yah?

Arsip

yang ngintip

free counters
facebook: http://www.facebook.com/nyepsycho/ twitter : http://twitter.com/nyepsycho